“Sayang mau apa untuk maharnya?” Tanya Iman, beberapa bulan lalu…. “Apa ya?” Saya balas bertanya. Ketika itu saya betul-betul engga punya ide..
“begini, apa sih hakikat dasar dari mahar itu?”
Yang saya tahu beberapa orang menganggap mahar sabagi bentuk simbolisasi harga diri.. oleh karenanya menjadi sangat malu bila di hargai rendah.. jika hakikat mahar memang itu, saya pun pasti meminta untuk dihargai jauh lebih tinggi lagi… tapi apa iya?.. karena sangat ganjil bagi saya bila seorang wanita dihargai dalam bentuk materiil.. saya yakin, pastilah perkara salah kaprah!
Setelah tanya sana-sini, tetap kami belum menemukan jawaban yang ‘memuaskan’..
Akhir minggu itu, kami putuskan untuk ke toko buku.. saya berharap, mendapat jawab disana.
Mengutip sebuah buku: Rasulullah pernah berkata, bahwa sebaik-baik perempuan salah satunya adalah yang maharnya mudah. Sebuah mahar yang bagi Iman “melapangkan” dan bagi saya juga demikian.
Sejak itu, dalam hati dan pikiran saya teguhkan, bahwa tak ada mahar yang lebih baik selain yang memudahkan sang pelamar.
“Yang biasa saja. cincin kawin.”“O ya? Itu doank? sayang yakin? ” tanyanya.Saya mengangguk mantap. “Alhamdulillah, semoga berkah selalu bagi kehidupan rumah tangga kita kelak. Amiiin,” kata saya.“Lantas, mengapa bentuknya hanya cincin?.. kalung misalnya? Atau satu set perhiasan emas?” tanyanya lagi.. seperti merasa kurang puas. “Sayang, pengikat berkilau yang melingkat di jari saya ini, akan dilihat banyak orang.. kelak menjadi tanda, saya adalah pasangan seseorang. Selain itu, cincin juga akan mengikat cinta kita”.. jelas saya padanya…
“Baiklah, tapi kamu ikhlas kan kalau aku tambah?”
Saya mengangguk, "yang penting.. kamu tetap 'mudah'"..
itu hakikat dasarnya kan?!..
No comments:
Post a Comment