Sekurang-kurangnya ada dua alasan mengapa jejaring perpustakaan itu menjadi perlu dan penting.
Ases Publik Rendah
Pertama, dari sisi kompetensi LSM. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dinilai sebagai salah satu motor penggerak perubahan sosial di Indonesia. Kekuatan LSM terletak pada kemampuannya memproduksi pengetahuan dan keterampilan dalam membedah realitas sosial. Produk pengetahuan LSM telah menjadi sumber pengetahuan baru masyarakat sehingga bisa melawan dominasi pengetahuan yang dibuat negara ataupun pasar.
Salah satu contohnya dapat dilihat dalam pengungkapan kasus pelanggaran HAM pada 13-14 Mei 1998. Pemerintah kerap menyebut tragedi itu sebagai tindakan kriminal semata. Sebaliknya, bukti-bukti yang dikumpulkan dan diteliti NGO menunjukkan bahwa kejadian tersebut sudah merupakan pelanggaran
HAM.
Karena itu, semakin berpendar keyakinan transformasi pengetahuan dari LSM kepada masyarakat merupakan agenda yang perlu didorong percepatannya. Sebab, transformasi pengetahuan itu akan membantu terciptanya tatanan kehidupan masyarakat sipil yang terbuka dan demokratis.
Salah satu kendala percepatan transformasi pengetahuan itu justru terletak pada rendahnya akses masyarakat untuk menyerap pengetahuan yang diproduksi dana atau direproduksi oleh LSM. Hal ini tentu saja agak kontraproduktif dengan salah satu tujuan pokok LSM, yakni membangun supermasi sipil.
Kekurangan Koleksi
Untuk mengatasi masalah akses ini, dibutuhkan solusi kreatif yang mampu menjembatani masyarakat dan LSM Salah satunya adalah memanfaatkan perpusatakaan. Dan pada saat ini perpustakaan Perguruan tinggi dan perpustakaan komunitas menjadi salah satu alternatif solusinya.
Persoalannya, sebuah perpustakaan, seberapapun besarnya ia, tak akan mampu mengumpulkan semua karya para ilmuwan dan penulis dari seantereo dunia. Oleh karena itu, perpustakaan atau pusat-pusat informasi harus menjalin kerjasama dalam bentuk jaringan dengan perpustakaan atau pusat-pusat informasi lainnya.
Pesatnya perkembangan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (Information and Communication Technology/ICT) telah memungkinkan perpusatakaan membangun jejaring secara cepat, mudah bahkan murah. Sebab, ?jaringan? memungkinkan penghematan fasilitas, biaya, sumberdaya dan waktu.
Itulah alasan keduanya: perpustakaan kampus terkadang tak memiliki kemampuan membangun koleksinya secara mandiri. Ini diperkuat oleh kisah berikut ini.
Seorang dosen ilmu pemerintahan dari sebuah universitas negeri di Lampung bercerita mengenai susahnya mendapatkan bahan ajar untuk salah satu mata kuliahnya, yaitu hukum humaniter.
Saat ia menanyakan kepada mahasiswanya tentang kasus pelanggaran HAM di Talangsari, tidak seorangpun dapat menjawab. Hingga akhirnya ia memberikan tugas makalah yang disambut dengan protes oleh seluruh mahasiswanya. "Tidak ada buku sumber," begitu kilah para mahasiswanya.Ini menjadi ironi karena Kasus Talangsari terjadi di Lampung. Sebuah peristiwa yang amat dekat dengan mereka.
Cerita lain datang dari sebuah Universitas Negeri di Serang, Banten, Jawa Barat. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di universitas tersebut merupakan fakultas termuda. Perpustakaannya berada di ruang sangat sempit dengan jumlah koleksi yang terbatas. Buku-buku yang tersedia merupakan buku lama yang sudah tidak dapat dijadikan acuan bagi ilmu sosial. Para dosen dan pustakawan mengaku kewalahan melayani hasrat mahasiswa untuk mendapatkan pengetahuan baru.
Kesulitan untuk memperoleh pengetahuan dan informasi baru tidak hanya terjadi di Lampung dan Banten, beberapa pustakawan dan dosen di beberapa Universitas lain juga mengeluhkan hal yang sama. Kerap kali dosen terpaksa menggunakan buku referensi ?usang?.
NGO sebagai salah satu ?produsen? ilmu pengetahuan sosial, melalui berbagai riset dan kegiatannya, seharusnya bisa ambil bagian dalam mengatasi masalah itu. Selama ini, karya pengetahuan NGO dalam bentuk buku, makalah ilmiah, dan lainnya hanya berputar di 'kalangan sendiri'. Di produksi oleh NGO, didistribusikan ke NGO dan dikonsumsi sendiri. Sungguh sebuah kemubaziran, sepertinya.
Karena itu, perpustakaan NGO dan Universitas harus berjejaring, menjadi medium terjadinya perlintasan pengetahuan.
Implementasi
Menyadari itu, Yayasan Tifa telah memulainya dengan membangun jejaring dengan perpustakaan kampus dan komunitas di 4 propinsi, Lampung, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten. Melalui jejaring ini, Tifa akan mendiseminasikan pengetahuan-pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para mitranya di berbagai daerah.
Secara teknis, perpustakaan kampus diharapkan menyediakan sebuah sudut dan sumberdaya untuk melakukan pemeliharaan terhadap koleksi dari NGO. Sudut ini, nantinya akan dipenuhi oleh pengetahuan yang dihasilkan oleh NGO dari berbagai isu-isu sosial, diantaranya HAM dan Demokrasi.
Ketika pengetahuan dan informasi telah diterima oleh perpustakaan kampus, tahap selanjutnya adalah menarik masyarakat luas untuk menyerap pengetahuan dan informasi tersebut. Beberapa cara yang dilakukan oleh beberapa toko buku ternama dapat ditiru. Misal, bedah buku dengan mengundang penulisnya. Debat atas sebuah isu sosial yang coba diangkat dari sebuah makalah ilmiah dan lain-lain.
Di masa yang akan datang, Tifa mengharapkan jejaring itu terjadi langsung antara perpustakaan NGO dengan Kampus dan juga antar perpustkaan NGO dan antar perpustakaan kampus.
No comments:
Post a Comment